HALAMAN PANTAI

HALAMAN PANTAI

Selasa, 29 Desember 2009

Langkisau 2

Pilihlah, datang ketika subuh ranum:
saat dingin pacu-berpacu dengan matahari terbit,
manisnya embun dan segala yang ada seperti menyuruhmu hidup untuk selamanya.

Mungkin ada yang mau memilih siang ketika angin berhembus,
para penerbang membantangkan parasut mereka,
semua kebebasan merasuki kulitmu,
mengkutuk semua ketakutan,
dan pesona paralayang mangantarmu kelaut tanpa ujung,
mereka terbang kau juakan ingin terbang: angan merangkul kemerdekan.

Sore, pilihan yang sempurna, langit berwarna merah,
sunset juara disana: jingga.
Satu-dua masih ada penerbang merangkul hangat matahari yang akan tenggelam, tanggelam dimata mereka,
juga setiap mata yang tertuju pada fokus yang sama,
beku yang merdeka.

Dan yang datang saat malam lembut: dimana banyak peluk-cumpu.
Semua kisah dibantang, terang benarang, tangan bergenggam, desahan kopi hangat, sepakat semuanya seperti perintah perang, merintaih bernyanyi.

Pilihlah.

September 2009

Read More..

Langkisau 1

Apa yang ditinggalkan senja ketika kita harus mendaratkan gelisa pada pilihan.
Adalah matahari yang perlahan menyusup diparasut yang kau bawa. Kita memiliki kesempatan, namun tak tambatkan padang.
Sejauh melayang, kau terbang menjadi warna, menjadi cerita.

Musik miris mengalun, laut terhampar, aku menatap matamu, matahari yang terbenam. Jingga menyapu samudra, aku bekukan semua. Agar cerita ini tak hanya jadi dongeng belaka, sudah bahagikah?

Cuaca berubah, berulah, seperti mitos, ia mengutuk siapa saja yang percaya, siapa yang berdusta.
Menukik semuanya, sekejap malam menyapa, sudalahlah, akan selalu ada cerita ke dua.

Painan, Agustus 2009

Read More..

Senin, 17 Agustus 2009

Rindu

Kepada : buku

Setidaknya aku bisa menertawai diriku sendiri.
Memberi ruang kepada puisi untuk bernafas di rongga dadaku.

Ingin ku berkata sejujur-jujurnya.
Tapi semuanya begitu beku.
Berlapis, dan setia menemani kesepian.

Tengah malam buta, bergelinding.
Dedaunan nampak sekali berkilau ditepis angin,
mendendangkan kepekaan yang tergerai basah.
Aroma sperma, yang khas.

Seperti itulah kereta pergi, menjauh, mengintai: ketika!
“kapan kau pulang, nak. Buku-bukumu sudah rindu”

Juli 2005

Read More..

Pantai 5

Aku anak pantai, kulitku terbakar sepi
Tiap malam merayakan kesendirian
Dideretan ombak yang rindang
aku mengumpulkan kata-kata
mengabarkan pada pasir,
agar bakau merangkainya dalam curiga
dan menuntaskan semua dendam
menghalau resah dan gelisah.

Namun, senja selalu mengingatkan sisa-sisa sakitku
Headline hujan:
“kumpulkan lagi kuka itu, tulislah dalam cerita
agar tak basi dan lari”
selalu di pantai akan ada bisikan-bisakan rahasia
yang mengantar pertanyaan-pertanyaan.

Aku anak pantai
Tiap malam merayakan kesendirianku
Suatu hari aku akan membekukan ombak,
Kejadikan dongeng pengantar tidur.

Painan,
April 2007

Read More..

Hu...yu..hu...

Read More..

Foto-Foto





narsisi dulu ya...

Read More..

Potret

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Terbekukan di pagi.

Percayalah, embun-embun yang ada di ujung daun telah melewati senyap yang panjang.
Di intimnya gelap, ia telah memilih cara untuk rehat.
Sekian rindu yang lewat, hanya sempat menertawai diri sendiri.
Sejauh melangkah, sejauh memilih : toh hanya berani menyublim di depan laut. Lari sejauh lamun.

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Tak tahukah kau semua hanya bagaimana cara memilih.

Sayangnya, kita terlalu terlibat dengan perasaan.
Logika sering terpinggirkan.
Padahal aku menginginkan dengan tegas sebuah cinta yang memerdekakan, susahnya ini seperti impian utopis, “mana ada yang mau melogikakan rasa”.
Di batas normatif, orang-orang terbiasa, mendongengkan khayalan mereka, menganggap itu benar-benar ada.

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Sejauh lari, sejauh aku dikejarnya.

Painan, Juni 2009

Read More..

Malam-Malam di Halaman Pantai

Izinkan aku bercerita tentang sesiapa yang berkumpul dimalam, kala ombak pacu berpacu diingatan. Tidakkah kau mau mencatatkan kisah desau angin, saat bagan-bagan dengan lampu terang benderang : menusuk semua hitungan, membalikkan semua tafsir dan menghempaskan apa yang dianggap kepatutan.

Kenapa orang-orang itu berkumpul?, mengapa juga mereka bergigil di halaman pantai, waktu malam?. Aku menemukan jawabannya saat aku bersama mereka, menyusuri lekuk karang, mengintepretasi ayat-ayat ombak, telentang di pasir: biduak bacadik adalah rumah, tanah pantai adalah halaman, dan malam adalah ruang dimana semua wajah selalu samar, yang ada hanyalah laku tindak.

Orang-orang yang berkumpul, hantu adalah diri mereka, menciptakan takut sendiri. Di malam hadir melempar pukek, menjaring kata, memetakan kognitif, memuai di halaman pantai, aduk-mengaduk kenyatan. Ditiap batang rokok, dinyanyikan lagi kegelisahan: “darah kami, buih yang menjalar dinadi, memompa suara, kadang deras kadang malah kering, mempercayai sejarah: membunuh diri sendiri”. Sesiapa yang datang kemalam, maka ia yang akan mendiskusikan pagi.

Sungguh, tak pernah aku sampai kepemahaman secara holistik di pantai kala malam. Di tiap halaman yang tertoreh hanyalah penggalan-penggalan yang tak pernah menyeluruh. Setiap kata yang kugores, setiap inci tubuhku terkikis.

Painan, Juni 2009

Read More..

Di Kampung Nelayan

(1) ketika datang

Ketika datang, aku gamang
Wajah-wajah berkeliaran
Tak peduli pada pagi, hidup mengelilingi.
Semua khusuk menatap jauh
Kelaut, menghitung barapa bagan merapat.

Gugupku tak terelak
Semua cepat berarak
Dunia dalam pasir, seperti berita yang tersimpan.
Semua serempak berlari.
Mengejar baskom-baskom,
berisi asap dapur.

Aku cuma mendefenisikan sendiri
Karena tak ada yang salah.
Observasi gerak dan langkah, selalu patuh pada falsafah
Relativisme yang mengakar kuat.


(2) mengambil gambar.

Jarak, tak ingin berjarak.
Hingga sempat berbagi cerita.
Saling jamah: rokok, tawa, dan kopi.
Beberapa peristiwa menjadi abadi.


(3) saat berkisah

Hadir, benar-benar menyelami
Perih, mereka tak pernah menangisi.
Hanya berkeluh kesah
Tentang kutukkan:
Laut yang tak lagi memberi ikan,
Karena dulu kita lupa bersyukur.
Bada-bada, tak terjual tanam ditanah,
Tak pernah tumbuh apalagi berbuah.

Uang yang sedang berlimpah, kita foya-foya.
Beli semua yang bisa,
saat ikan sudah bisa menghilang dan lolos dari pukat jaring
semua yang ada pelan-pelan sirna.

Juga kapal-kapal dengan pukat harimau,
racun dan bom.
Pemerintah sepertinya alfa
mungkin juga pura-pura.
Pelan pelan menutup mata.

Bantuan juga hanya cerita manis dikala senja.
Jikapun ada semua hanya
basa-basi politik yang tak bisa diguna.
Paling juga 2-3 kali pakai,
lalu dititip pada onggokan sampah.

Dan sekarang masih sama dengan 20 tahun yang lalu.
Kita hanya punya cadek,
tak ada kapal atau alat-alat yang tepat guna.
Semua sia-sia, karena ikan sudah bisa berbahasa asing
dan mengakses internet.
Kita masih juga mengandalkan malam yang buta.


(4) untuk sendiri, ketika meninggalkan tepi.

Perenungan mengimbangi.
Tentang kampung nelayang yang dikucilkan.
Padahal disebelah kiri dan kanan, pejabat
sedang asik-asiknya berdiskusi tentang proyek
yang dihutung dengan sebutan M.
entah bagaimana nasip kini,
semua hanya janji-janji manis ketika menunggu saat memilih.
Apakah laut masih menghidupi.
Ataukah laut akan mengakhiri.

Painan,
November 2007

Read More..

Sampul BUku Itu

Read More..

Sabtu, 11 April 2009

Ninabobok

Suara-suara resah,
masih menggema,
mentahlilkan jasat-jasat kata yang belum terkubur, mesra.
Terkurung dilembar-lembar tak bernama, hadir membawa warna
“dan aku pergi teman, menamani kebisuan langit dan kegundahan bunda yang lama tidak tersenyum, ”
karna dibuang Tuhan ke bumi
pagi ini ketulusan menjadi basi detelan puisi basah di luar kaca.

Painan

Read More..

Kekasih Khayalan

Aku punya kekasih hayalan.
Ia sering memperkosaku diam-diam kala subuh menjemput.
Kala sepi mencumbu.

Ia selalu bilang,
Paling suka dengan ceritaku.
Tentang kertas, pena dan prajurit kata-kata yang selalu bertempur demi hati.
Tentang mereka yang mati:
antara kamar mandi dan kamar tidur.

Oh kekasih khayalanku yang nakal

Ia selalu menyapaku kala terbius dalam buku.
Memelukku dalam catatan harianya.
Berlari-lari dalam petikan rokok,
Batuk dan rambut rontokku.

Suatu hari ketika senja, diladang kata
Aku sedang menyirami puisiku dengan obrolan demonstran
Ia datang mengajaku rehat,
Reingkarnasilah menjadi rindu, katanya.
Kita akan ziarah kepemakam kidung agung.

kekasih hayalan
Ia sering memperkosaku diam-diam kala subuh menjemput.
Makanya rambutku selalu basah.
Selepas Subuh sebelum ‘Duha.

Painan

Read More..

Yang Kalah, Tetap Bersuara.

Tergesah, jatuh dikeramaian,
Namun kau jemu, lari berlari memuja kesendirian.
Kejauh yang tak terbeli.

Hanya mengemas kata-kata,
Lekas berangkat kesirna.
Detak-detak dihitung,
mundur ketepi waktu.

Kita ini hanya sang kalah yang masih terus bersuara.
Karena sampai saat ini belum pernah terfikir untuk menyerah.
Apalagi membiarkan diri diapit oleh sesak zaman,
yang makin tajam.

Padang

Read More..

Pacar Kata

Pacar kata, kita sama-sama memiliki mata yang sayu.
Jika linting-linting itu dibakar,
dihirup dan ada kesempatan bercerita panjang lebar.
Aku akan mengenang hari ini. Selalu.
~kau pergi~

Pacar kata, terkesima
Didua belas bulan yang tercatat.
Kita berkirim kabar lewat udara.
Dan saat minggu-minggu yang kesekian terlewat.
Kau bercerita tentang sejarah yang dibalik.
“kita harus melawan, kepalkan tangan.
Selagi bisa nafas berhembus dan kaki melangkah
Jangan pernah menyerah”

Pacar kata, haruskah kita bertarung melawan diri sendiri.

Painan

Read More..

Tergelitik

Tergelitik.

Sampai saat, puisi ini dieja.

Kita sepakat, mencumbu wanita

yang tak bergincu lebih sahdu.

Juga, lenggok dan lagak yang seriang menjerat.

Uh…menatap, jauh kita dipacu.

Roda-roda dan bau asap.

Iklim yang muncrat dari sengat panas yang berbaris-membarisi,

peluh mencibiri.

Lengan baju, jatuh mengalihkan tatap pada sosok yang lantang berucap:

“aku akan memacarimu siang malam, tanpa beban”

Tak-tik-tak-tik, mesian tik menggelitik.

Kita berlari pada musim berdiam, dimana haraga kata,

hanya sia-sia onggokan pasar disore, lengang.

Sekarang benarkah kita kembali tak berani lantang.

Padang,

November 2007


Read More..

Sabtu, 28 Februari 2009

Pantai 7

Kepada: Pramoedya Anata Toer

Minggu, disebuah pantai kau paksa kami menjadi saksi,
saat jiwa masih samar membaca cuaca.
Musim membaca tiba.
Sejarah yang gegabah menyerahkan diri pada sepenggal malam.
Hujani jejak yang diisi sepi.

Naskah-naskah berdarah,
berciprakan renung pada huruf-huruf
sepanjang pasir yang ku injak.
Telanjang kaki menatap langit,
semua menjadi tiada dan tak tau kapan bermula.

Perempuan-perempuan yang terperkosa.
Jawab takdir, melangkah lewati kata-kata,
kawat berduri adalah surga yang digerayangi kupu-kupu.
“telah ku cumbu gerwani
yang tau sunyi-senyap perjuangan,
tak hanya sekedar kata
tapi juga kesendirian yang mencekam”.

Minggu disebuah pantai, kau paksa kami mengoreskan peluh.
Tertoreh tanggal, saat aku alfa mengucapkan salam.
Ketika kata-kata beriringan makin panjang mengantarkan keperaduan.

Painan, April 2007

Read More..

Aku Mengundangmu

Aku mengundangmu datang ke sudut sunyi sajak-sajakku.
Mungkin beberapa saat menghabiskan waktumu,
untuk bercerita tentang akar rumput dan maut.
Juga gairah mengepal dari pulang
yang hanya terjanjikan.

Jika sempat berkemahlah beberapa hari
Di tanah hening sajak-sajakku.
Mungkin aku bisa memasakkan
beberapa tanggal untuk kau kenang,
dan bisa ceritakan pada anak cucumu.
Sembari malam menjemput, unggun dikelilingi kata-kata.

Mungkin aku hanya bisa mangundangmu,
satu kali ini saja.
Menawarkan malam telentang,
menatap sajak-sajak terbang.

Painan, November 2007

Read More..