HALAMAN PANTAI

HALAMAN PANTAI

Rabu, 22 Desember 2010

Pucuk-Pucuk Embun

Sebelum terik bergegas menggugurkanmu
aku ingin menikmati detik-detik pucuk yang merayu
bercermin dikerelaan pagi, sebab waktu akan melumat
memangsa siapa yang tergesa, menelan siapa yang lambat.

Mungkin memang pertemuan denganmu terlalu khusuk,
atau aku saja bermimpi setiap pagi bisa mangukir nama di biasmu

Rasa gamang luruh dan jatuh bersama tetesmu ke tanah
berpindah ke pucuk lain, bercermin tentang langkah yang diam
tak ingin mengenang apa-apa yang telah berguguran
namun setiap puncak yang aku kunjungi, terawat kenangan dengan rapi

Mungkin pertemuan ini selalu terasa amat agung,
atau aku saja berharap, tanah yang tertetesi memunculkan nama

Painan, Oktober 2010

Read More..

Aku Memperingati Kebablasan dalam Kamar Sendirian.

Aku memperingati kebablasan dalam kamar sendirian, sembari melafalkan ayat-ayat perang, oh pahit bukan kepalang, menelusuri seluruh riuh rendah kepalsuan. Lihatlah kawan, konspirasi mengelitik disana-sini, setiap kemungkinan selalu berujung persimpangan, dan peta terbentang di liang, rahim segala kesengsaran. Oh, tuan Weber sangkar birokrasi bagai prajurit kompeni yang meniduri bingkai-bingkai sejarah. Ah, bukankah kita sangat terbisa menjarah, memainkan lidah ditepian situs-situs jejaring sosial, lantas sekarang kau yang bertanya, aku hendak kemana?

Menulis saja kadang membuat aku lelah, seperti menjadi tertuduh yang dipaksa merekam detak, tanggal-tanggal berkarat, berguguran ke kenangan. lembar-lembar diintimidasi, diputarbalikkan sesuka hati, kompas arah-mengarah, utara petunjuk segala sengsara. Kecintaan Marx pun pada tubuhnya telah meluruhkan dendam yang panjang, tak terobat oleh oportunisnya zaman. Simbol-simbol mangantarkan relativisme agung, salju turun perlahan, mendekamkan diri pada perpustakan, menyelinap dibuku, baku: luruh dan dunia menjadi ambigu.

Aku masih di tropis, tak lagi tentu menabak musim, perang batin saling berkejaran, hanya yang setia yang bertahan, pada pilihan kita merawat dendam, semisal tak terbalaskan; aku telah mencoba berada di garis depan, mempertanyakan nihilisme. Nol adalah ke(aku)an, memulai diperjalankan, jika diantar sejauh ini tentu Ia tak akan meninggalkan aku dengan sia-sia.

Painan, Oktober 2010

Read More..

Kemana Kita Setelah Pulang dari Ingatan

Menyelusuri sunyi menghadirkan keintiman laknat pada tubuh, berguncang dan berkehendak di tepian. Meneguk masa lalu, berhadap-hadapan dengan kenyatan. Sejarah diri adalah ruang untuk tubuh berkelekar, menjadi panggung pertunjukan yang gelap. Tak bisa melawan, karena berjalan maju adalah mingikuti arus, berjalan mundur menguap, namun tak pernah lenyap. lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Hanya berdiri diam di tempat.

Terlahir menjadi ada, lalu tak melakukan apa-apa sungguh telah mendustai tubuh, bukankah kita juga pernah di pucuk imaji, riuh gempita dan meneguk madu asmara. Mengapa jua bicara gelap dan terang, jika semisal menyelusuri kelok-kelok itu bisa membuat kita bertahan. Menziarahi penyesalan tentu tak akan merubah apa-apa, situs-situs pertemuan telah mejadi tugu berlambang: kenangan, lalu kemana kita setelah pulang dari ingatan.

Tidak membalik halaman berikutnya.

Terjadi jeda yang berkepanjangan, tubuh hanya diam walau keinginan serupa kecemasan, ingatan memaksa pulang, tak tertahan. Sangsai benar jika memaksa mengunjingi sunyi, setiap ditepis ia malah menari.

Painan, Oktober 2010

Read More..

Senin, 15 Maret 2010

Mata Tanya

Aku tak ingin mempertanyakan apa-apa dari apa yang ku lihat.
Sebab, tak semua tanya harus di jawab.
Alangkah bergegasnya waktu bila hujan berwarna jingga,
dan perlahan membasuh mata.

Mata dari tanya, menyerupai mata ombak yang menghempas karang.

Aku tak ingin mempertanyakan apa-apa dari apa yang ku dengar.
Gersangku, gersangmu menutup tanya, membiarkan senja lewat begitu saja.
Dan kebisingan kota menyadarkan kita betapa waktu selalu menghukum yang beku, memenjarkan yang telah berlabuh.

Mata dari tanya, menyerupai pelabuhan sepi, tempat kita pernah memadu kasih.

Aku tak ingin mempertanyakan apa-apa dari apa yang ku bau.
Wangi dan busuk hanyalah aroma, dan aroma tubuhmu masih tersisa,
membentuk malam.
Malam buta salalu punya alasan untuk berdebat,
dan selalu saja menyisakan banyak tanya.

Mata dari tanya, menyerupai puisi miris, di pentaskan sendiri dikamar sepi.

Painan, Januari 2010

Read More..

Selasa, 29 Desember 2009

Langkisau 2

Pilihlah, datang ketika subuh ranum:
saat dingin pacu-berpacu dengan matahari terbit,
manisnya embun dan segala yang ada seperti menyuruhmu hidup untuk selamanya.

Mungkin ada yang mau memilih siang ketika angin berhembus,
para penerbang membantangkan parasut mereka,
semua kebebasan merasuki kulitmu,
mengkutuk semua ketakutan,
dan pesona paralayang mangantarmu kelaut tanpa ujung,
mereka terbang kau juakan ingin terbang: angan merangkul kemerdekan.

Sore, pilihan yang sempurna, langit berwarna merah,
sunset juara disana: jingga.
Satu-dua masih ada penerbang merangkul hangat matahari yang akan tenggelam, tanggelam dimata mereka,
juga setiap mata yang tertuju pada fokus yang sama,
beku yang merdeka.

Dan yang datang saat malam lembut: dimana banyak peluk-cumpu.
Semua kisah dibantang, terang benarang, tangan bergenggam, desahan kopi hangat, sepakat semuanya seperti perintah perang, merintaih bernyanyi.

Pilihlah.

September 2009

Read More..

Langkisau 1

Apa yang ditinggalkan senja ketika kita harus mendaratkan gelisa pada pilihan.
Adalah matahari yang perlahan menyusup diparasut yang kau bawa. Kita memiliki kesempatan, namun tak tambatkan padang.
Sejauh melayang, kau terbang menjadi warna, menjadi cerita.

Musik miris mengalun, laut terhampar, aku menatap matamu, matahari yang terbenam. Jingga menyapu samudra, aku bekukan semua. Agar cerita ini tak hanya jadi dongeng belaka, sudah bahagikah?

Cuaca berubah, berulah, seperti mitos, ia mengutuk siapa saja yang percaya, siapa yang berdusta.
Menukik semuanya, sekejap malam menyapa, sudalahlah, akan selalu ada cerita ke dua.

Painan, Agustus 2009

Read More..

Senin, 17 Agustus 2009

Rindu

Kepada : buku

Setidaknya aku bisa menertawai diriku sendiri.
Memberi ruang kepada puisi untuk bernafas di rongga dadaku.

Ingin ku berkata sejujur-jujurnya.
Tapi semuanya begitu beku.
Berlapis, dan setia menemani kesepian.

Tengah malam buta, bergelinding.
Dedaunan nampak sekali berkilau ditepis angin,
mendendangkan kepekaan yang tergerai basah.
Aroma sperma, yang khas.

Seperti itulah kereta pergi, menjauh, mengintai: ketika!
“kapan kau pulang, nak. Buku-bukumu sudah rindu”

Juli 2005

Read More..