HALAMAN PANTAI

HALAMAN PANTAI

Rabu, 22 Desember 2010

Aku Memperingati Kebablasan dalam Kamar Sendirian.

Aku memperingati kebablasan dalam kamar sendirian, sembari melafalkan ayat-ayat perang, oh pahit bukan kepalang, menelusuri seluruh riuh rendah kepalsuan. Lihatlah kawan, konspirasi mengelitik disana-sini, setiap kemungkinan selalu berujung persimpangan, dan peta terbentang di liang, rahim segala kesengsaran. Oh, tuan Weber sangkar birokrasi bagai prajurit kompeni yang meniduri bingkai-bingkai sejarah. Ah, bukankah kita sangat terbisa menjarah, memainkan lidah ditepian situs-situs jejaring sosial, lantas sekarang kau yang bertanya, aku hendak kemana?

Menulis saja kadang membuat aku lelah, seperti menjadi tertuduh yang dipaksa merekam detak, tanggal-tanggal berkarat, berguguran ke kenangan. lembar-lembar diintimidasi, diputarbalikkan sesuka hati, kompas arah-mengarah, utara petunjuk segala sengsara. Kecintaan Marx pun pada tubuhnya telah meluruhkan dendam yang panjang, tak terobat oleh oportunisnya zaman. Simbol-simbol mangantarkan relativisme agung, salju turun perlahan, mendekamkan diri pada perpustakan, menyelinap dibuku, baku: luruh dan dunia menjadi ambigu.

Aku masih di tropis, tak lagi tentu menabak musim, perang batin saling berkejaran, hanya yang setia yang bertahan, pada pilihan kita merawat dendam, semisal tak terbalaskan; aku telah mencoba berada di garis depan, mempertanyakan nihilisme. Nol adalah ke(aku)an, memulai diperjalankan, jika diantar sejauh ini tentu Ia tak akan meninggalkan aku dengan sia-sia.

Painan, Oktober 2010

0 komentar: