HALAMAN PANTAI

HALAMAN PANTAI

Senin, 17 Agustus 2009

Rindu

Kepada : buku

Setidaknya aku bisa menertawai diriku sendiri.
Memberi ruang kepada puisi untuk bernafas di rongga dadaku.

Ingin ku berkata sejujur-jujurnya.
Tapi semuanya begitu beku.
Berlapis, dan setia menemani kesepian.

Tengah malam buta, bergelinding.
Dedaunan nampak sekali berkilau ditepis angin,
mendendangkan kepekaan yang tergerai basah.
Aroma sperma, yang khas.

Seperti itulah kereta pergi, menjauh, mengintai: ketika!
“kapan kau pulang, nak. Buku-bukumu sudah rindu”

Juli 2005

Read More..

Pantai 5

Aku anak pantai, kulitku terbakar sepi
Tiap malam merayakan kesendirian
Dideretan ombak yang rindang
aku mengumpulkan kata-kata
mengabarkan pada pasir,
agar bakau merangkainya dalam curiga
dan menuntaskan semua dendam
menghalau resah dan gelisah.

Namun, senja selalu mengingatkan sisa-sisa sakitku
Headline hujan:
“kumpulkan lagi kuka itu, tulislah dalam cerita
agar tak basi dan lari”
selalu di pantai akan ada bisikan-bisakan rahasia
yang mengantar pertanyaan-pertanyaan.

Aku anak pantai
Tiap malam merayakan kesendirianku
Suatu hari aku akan membekukan ombak,
Kejadikan dongeng pengantar tidur.

Painan,
April 2007

Read More..

Hu...yu..hu...

Read More..

Foto-Foto





narsisi dulu ya...

Read More..

Potret

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Terbekukan di pagi.

Percayalah, embun-embun yang ada di ujung daun telah melewati senyap yang panjang.
Di intimnya gelap, ia telah memilih cara untuk rehat.
Sekian rindu yang lewat, hanya sempat menertawai diri sendiri.
Sejauh melangkah, sejauh memilih : toh hanya berani menyublim di depan laut. Lari sejauh lamun.

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Tak tahukah kau semua hanya bagaimana cara memilih.

Sayangnya, kita terlalu terlibat dengan perasaan.
Logika sering terpinggirkan.
Padahal aku menginginkan dengan tegas sebuah cinta yang memerdekakan, susahnya ini seperti impian utopis, “mana ada yang mau melogikakan rasa”.
Di batas normatif, orang-orang terbiasa, mendongengkan khayalan mereka, menganggap itu benar-benar ada.

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Sejauh lari, sejauh aku dikejarnya.

Painan, Juni 2009

Read More..

Malam-Malam di Halaman Pantai

Izinkan aku bercerita tentang sesiapa yang berkumpul dimalam, kala ombak pacu berpacu diingatan. Tidakkah kau mau mencatatkan kisah desau angin, saat bagan-bagan dengan lampu terang benderang : menusuk semua hitungan, membalikkan semua tafsir dan menghempaskan apa yang dianggap kepatutan.

Kenapa orang-orang itu berkumpul?, mengapa juga mereka bergigil di halaman pantai, waktu malam?. Aku menemukan jawabannya saat aku bersama mereka, menyusuri lekuk karang, mengintepretasi ayat-ayat ombak, telentang di pasir: biduak bacadik adalah rumah, tanah pantai adalah halaman, dan malam adalah ruang dimana semua wajah selalu samar, yang ada hanyalah laku tindak.

Orang-orang yang berkumpul, hantu adalah diri mereka, menciptakan takut sendiri. Di malam hadir melempar pukek, menjaring kata, memetakan kognitif, memuai di halaman pantai, aduk-mengaduk kenyatan. Ditiap batang rokok, dinyanyikan lagi kegelisahan: “darah kami, buih yang menjalar dinadi, memompa suara, kadang deras kadang malah kering, mempercayai sejarah: membunuh diri sendiri”. Sesiapa yang datang kemalam, maka ia yang akan mendiskusikan pagi.

Sungguh, tak pernah aku sampai kepemahaman secara holistik di pantai kala malam. Di tiap halaman yang tertoreh hanyalah penggalan-penggalan yang tak pernah menyeluruh. Setiap kata yang kugores, setiap inci tubuhku terkikis.

Painan, Juni 2009

Read More..

Di Kampung Nelayan

(1) ketika datang

Ketika datang, aku gamang
Wajah-wajah berkeliaran
Tak peduli pada pagi, hidup mengelilingi.
Semua khusuk menatap jauh
Kelaut, menghitung barapa bagan merapat.

Gugupku tak terelak
Semua cepat berarak
Dunia dalam pasir, seperti berita yang tersimpan.
Semua serempak berlari.
Mengejar baskom-baskom,
berisi asap dapur.

Aku cuma mendefenisikan sendiri
Karena tak ada yang salah.
Observasi gerak dan langkah, selalu patuh pada falsafah
Relativisme yang mengakar kuat.


(2) mengambil gambar.

Jarak, tak ingin berjarak.
Hingga sempat berbagi cerita.
Saling jamah: rokok, tawa, dan kopi.
Beberapa peristiwa menjadi abadi.


(3) saat berkisah

Hadir, benar-benar menyelami
Perih, mereka tak pernah menangisi.
Hanya berkeluh kesah
Tentang kutukkan:
Laut yang tak lagi memberi ikan,
Karena dulu kita lupa bersyukur.
Bada-bada, tak terjual tanam ditanah,
Tak pernah tumbuh apalagi berbuah.

Uang yang sedang berlimpah, kita foya-foya.
Beli semua yang bisa,
saat ikan sudah bisa menghilang dan lolos dari pukat jaring
semua yang ada pelan-pelan sirna.

Juga kapal-kapal dengan pukat harimau,
racun dan bom.
Pemerintah sepertinya alfa
mungkin juga pura-pura.
Pelan pelan menutup mata.

Bantuan juga hanya cerita manis dikala senja.
Jikapun ada semua hanya
basa-basi politik yang tak bisa diguna.
Paling juga 2-3 kali pakai,
lalu dititip pada onggokan sampah.

Dan sekarang masih sama dengan 20 tahun yang lalu.
Kita hanya punya cadek,
tak ada kapal atau alat-alat yang tepat guna.
Semua sia-sia, karena ikan sudah bisa berbahasa asing
dan mengakses internet.
Kita masih juga mengandalkan malam yang buta.


(4) untuk sendiri, ketika meninggalkan tepi.

Perenungan mengimbangi.
Tentang kampung nelayang yang dikucilkan.
Padahal disebelah kiri dan kanan, pejabat
sedang asik-asiknya berdiskusi tentang proyek
yang dihutung dengan sebutan M.
entah bagaimana nasip kini,
semua hanya janji-janji manis ketika menunggu saat memilih.
Apakah laut masih menghidupi.
Ataukah laut akan mengakhiri.

Painan,
November 2007

Read More..

Sampul BUku Itu

Read More..